Foto: baby-einstein.net |
AQILA, 4 tahun, kini punya mainan baru. Bocah laki-laki itu sedang kerajingan piano. Ia senang ketika jemarinya berada di atas tuts piano dan berjingkrak-jingkrak bila tuts yang ia pencet mengalunkan potongan nada lagu “Balonku”.
Aqila memang masih kanak-kanak, bahkan sekolah di TK saja belum. Namun, orang tuanya tak bisa menghalangi hasratnya yang menggebu-gebu bila mendengar suara musik. Sekarang, ia rutin belajar memencet tuts piano, dua kali seminggu di sebuah tempat kursus musik di dekat rumahnya di kawasan Cibinong, Bogor.
Ada jutaan atau mungkin miliaran anak seperti Aqila di dunia ini, anak yang kerajingan musik di usia belia. Dan, mengajarkan mereka seni adalah tindakan yang tepat untuk anak-anak. Tujuannya, bukan menjadikan anak itu seniman, tetapi mengajarkan sensitivitas.
Profesor Nina Kraus dari Northwestern University in Chicago, Illinois, AS pernah melakukan penelitian mengenai hal ini. Hasilnya, “Bermain musik pada anak-anak memacu kemampuan untuk mencerna pola-pola seperti suara, harmoni, atau ritme.”
Menurutnya, sensitivitas terhadap pola suara berhubungan erat dengan kemampuan membaca dan mencerna pembicaraan orang meskipun dalam kondisi yang bising. Singkatnya, musik bisa membentuk kemampuan otak dalam menangani aktivitas sehari-hari, termasuk membaca dan menulis.
Tidak hanya musik yang mengandalkan suara. Seni gerak seperti tari juga baik untuk anak-anak. Dr. Roul Sibarani, SpS, dari Rumah Sakit MRCCC Siloam, menyatakan, menari mampu menstimulasi seluruh bagian otak. “Menari merupakan perpaduan antara mendengar, melihat, olah gerak dan mengingat gerakan," kata dia sebagaimana dikutip Antaranews.com.**