MASIH ingat dengan pepatah ini, “di ujung rotan ada emas”? Itu adalah pepatah tua dari Indonesia timur. Maknanya kurang lebih, mendidik anak dengan cara menghukum menggunakan rotan akan berguna untuk anak itu di kemudian hari.
Kedisiplinan bisa diajarkan dengan memukul anak menggunakan rotan. Biasanya, ini dipraktikan di sekolah-sekolah dan orang tua di rumah. Misalnya, bila ada siswa yang datang terlambat, maka guru akan memukulnya dengan rotan. Atau, ada siswa yang ketahuan nyontek, maka rotan mendarat di pantatnya. Di rumah pun demikian, kerap ada orang tua yang menggunakan rotan untuk mendidik anak yang malas.
Tapi itu dulu. Kini hampir tidak ada sekolah yang menggunakan rotan untuk menghukum siswa. Bahkan istilah setrap (dari bahasa Belanda, straf, yang berarti hukuman) hampir tidak ada lagi. Anak sekolah yang disetrap di depan kelas dengan berdiri pada satu kaki sementara kaki lainnya terangkat dan tangan kanan memegang kuping kiri, nyaris tidak pernah lagi terdengar.
Namun demikian, tak terdengar bukan berarti punah. Di negeri ini masih banyak orang tua yang mempraktikkan cara itu untuk mendidik anak-anak mereka. Ada yang memukul, ada yang menyekap di kamar mandi, ada juga yang memukul dengan ikat pinggang. Inilah yang disebut dengan corporal punishment.
Seharusnya, menurut Kak Seto, cara seperti itu tidak lagi dipakai. Seiring dengan semakin terbukanya kesadaran dan pengetahuan mengenai pendidikan yang ideal dalam keluarga, seharusnya tidak ada lagi orang tua yang melakukan kekerasan fisik kepada anak mereka. Itulah mengapa, negara melarang melakukannya. Memukul anak atau melakukan kekerasan kepada anak kini tergolong sebagai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Kak Seto adalah orang yang tak pernah bosan memberi pengertian kepada publik mengenai hal ini. Sebab, masih ada orang tua yang memiliki paradigma bahwa seolah-olah mendidik anak dengan kekerasan itu wajar dan sah-sah saja, bahkan harus, sebagai bagian dari disiplin.
Dampak negatif
Para ahli psikologi sependapat bahwa secara umum, mendidik anak dengan kekerasan tidak akan menghasilkan efek positif. Sebaliknya, menyebabkan anak memiliki masalah emosi dan perilaku, lebih agresif, dan selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.
Anak yang sering mendapat pemukulan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Komnas Perlindungan Anak bahkan pernah mencatat ada anak 9 tahun yang dendam ingin membunuh ibunya karena pernah mendapat kekerasan. Mendidik anak tanpa kekerasan, justru sangat baik untuk perkembangan anak di masa depan. Selain lebih efektif untuk orang tua dalam menyampaikan pendidikan, juga lebih sehat untuk anak.
Beberapa Dampak Kekerasan terhadap Anak
- 1. Kekerasan fisik yang terus menerus dan lama akan menimbulkan cedera serius pada anak, meninggalkan bekas luka secara fisik, hingga menyebabkan meninggal dunia.
- 2. Kekerasan dalam bentuk psikis, seperi orang tua memarahi anaknya akan menyebabkan anak meniru perilaku itu. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
- 3. Jika anak ditelantarkan, maka anak akan mendapat perhatian dari orang tua. Anak akan memiliki perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan sulit menyesuaikan diri.