Mencerdaskan Anak dengan Mendongeng
Mendongeng mengajarkan pada anak nilai-nilai moral, pengontrolan emosi, pengembangan bahasa, dan mendekatkan hubungan anak dengan orangtua.
DONGENG bukan sekadar kisah atau cerita dari negeri antah berantah. Dongeng sejatinya ialah paparan kehidupan yang sarat pesan moral dan kebajikan. Pesan itu disampaikan secara halus melalui contoh-contoh yang diperankan para tokoh dalam dongeng itu.
Uniknya, dari mana pun asalnya, dongeng membawa pesan moral tentang nilai-nilai kehidupan, seperti jujur, kerja keras, kasih sayang, cinta sesama dan lingkungan, pentingnya persahabatan, ketekunan, berbakti pada orangtua, dan keyakinan bahwa kebenaran atau kebaikan pasti menang.Cobalah Anda simak dongeng tentang Putri Cinderella, Sinbad, Ciung Wanara, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Si Kancil, dan kisah Lukmanul Hakim beserta anak dan keledai mereka.
Dongeng tentang mereka sarat dengan pesan moral dan nilai-nilai yang sangat penting ditanamkan kepada anak sejak dini. Selain itu, dari aspek hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan mendongeng menjadi jembatan perekat kedekatan ayah dan ibu dengan anak. Anda tentu tidak ingin mengalami apa yang oleh kalangan psikolog disebut sebaga proses seorang ibu yang “kehilangan” atau hampir “kehilangan” anak sebagaimana pengalaman Dini Hermansyah, 35 tahun.
Perempuan karier itu gundah gulana lantaran mereasa tidak bisa berkomunikasi lagi dengan Adrian, putranya yang beranjak ke usia 13 tahun. Dini mengungkapkan, sejak kepergian ayah Adrian 7 tahun silam, dia mulai jarang menyempatkan waktu mengobrol dengan sang buah hati. Sebagai orangtua tunggal, ia harus bekerja keras menghidupi keluarga. Adrian kecil pun diasuh sang nenek, yang kini juga telah tiada.
Saat kariernya mulai cukup mapan dan bisa lebih banyak meluangkan waktu di rumah, Dini mulai bingung mencari cara “memenangkan” kembali hati Adrian. Padahal sebelum bekerja dulu, ia amat dekat dengan Adrian. Kini, setiap ada waktu libur, Adrian lebih senang bermain bersama temantemannya. Kalaupun ada di rumah, dia banyak diam dan tidak pernah bercerita apapun tentang sekolah atau kisah bunga-bunga kehidupan sebagai remaja.
Orangtua Profesional
Dalam mengasuh anak, banyak orang tua yang sibuk berkarier kurang menyadari bahwa membekali mereka dengan materi saja belum cukup. Dalam masa pertumbuhan, seorang anak membutuhkan figur dari kalangan terdekat, yakni orangtua, untuk selalu hadir di saat-saat penting hidup mereka.
Dr Seto Mulyadi Msi, psikolog anak yang juga Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak mengingatkan sesibuk-sibuknya orangtua seharusnya tidak ada alasan mengabaikan anak. “Saya sering bilang pada orangtua yang datang ke tempat praktik, jika bapak- ibu merasa terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk anak, lalu mengapa dulu punya anak?” ujarnya.
Dia berpendapat menjadi orangtua itu harus profesional. Artinya, status teryang harus dianggap serius, bukan pekerjaan main-main. Ada nilai tanggungjawab dan kuncinya ialah kemauan bukan kemampuan. Menurutnya, karena tidak menjalin komunikasi efektif dengan anak, banyak orangtua yang “kehilangan” anak saat si kecil beranjak remaja. Hal ini adalah akumulasi, dari ketidakbiasaan komunikasi yang dibangun sejak lama.
Pemerhati anak yang akrab dipanggil Kak Seto itu melihat mendongeng menjadi salah satu jembatan untuk mendekatkan orangtua dengan anak. Sebagian orang boleh menganggap budaya mendongeng kuno, namun itulah momen paling tepat untuk “mengikat” hati anak dan menjadi kompensasi atas momen yang hilang saat orangtua bekerja.
Menurut Kak Seto, yang pernah diundang mendongeng di Jepang, Pakistan, Belanda, Kamboja, dan India, ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari mendongeng. Misalnya, menanamkan dan mengasah sopan santun, disiplin, nilai-nilai moral, spiritual, agama, dan kognitif anak. Dari dongeng yang disampaikan, orangtua secara tidak langsung juga mengontrol perkembangan emosi, seperti rasa marah, gembira, empati, dan kasih sayang.
Selain itu, mendongeng bisa merangsang perkembangan bahasa. Misalnya, ketika si ayah bercerita, “Saat itu, sang kancil berjingkat-jingkat di kebun pak tani”. Lalu si anak bertanya, “Berjingkat itu apa ayah?” Di situlah terjadi proses pengayaan bahasa. Mendongeng pun bisa melatih kreativitas dan mengasah otak anak. Misalnya, saat Anda bercerita tentang si kancil yang ingin menyeberang sungai diadang banyak buaya. Anda bisa memancing si kecil dengan pertanyaan, “Bagaimana cara kancil melewati sungai menurut kamu?”
Adapun bagi orangtua, kebiasaan mendongeng akan membantu mereka menjadi sahabat anak. Ironisnya, minat orang Indonesia menjadi pendongeng sangat rendah. “Mungkin jumlahnya tinggal 10 orang, dan saya satu-satunya yang perempuan. Ditambah Pak Raden, idola saya yang kini jarang tampil, malah mungkin jumlahnya tinggal sembilan,“ ungkap Poetri Soehendro, pendongeng yang juga mantan penyiar Radio Prambors.
Menurut perempuan 46 tahun yang telah sembilan tahun menjadi pendongeng itu, semua orang seharusnya bisa menjadi pendongeng buat orang terdekat. Misalnya orangtua ke anak, atau guru ke murid. Soal ide cerita untuk didongengkan, Poetri menyarankan pemanfaatan mesin pencari di Internet dengan kata kunci story telling. Mengapa saat ini budaya mendongeng pudar? “Kemajuan teknologi, seperti televisi dan DVD membuat banyak orangtua ‘menyerahkan` dan memercayakan edukasi anak mereka pada alat elektronik. Mereka tidak sadar, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa tergantikan, yakni momen kebersaman dan komuniasi yang tercipta, antara anak dan orangtuanya,” tutup Kak Seto. (RA)