Mengasuh Anak Dengan Hypnoparenting
Hypnoparenting mengajarkan orangtua memetakan secara sistematis tugas-tugas mengasuh dan mendidik anak dengan pendekatan cara kerja pikiran dari kacamata anak.
TIDAK dapat dipungkiri, citra hipnosis di benak kebanyakan orang cenderung negatif. Hipnosis acapkali dikaitkan dengan perilaku kejahatan, seperti menipu, memperdaya orang untuk diambil barang miliknya, dan merayu seseorang agar menuruti kemauan penghipnosis.
Namun, hipnosis sebenarnya tiada bedanya dengan hal-hal lain di dunia ini yang posisinya berada di dua kutub: baik dan buruk. Fungsi baik atau buruk itu sangat tergantung dari a man behind the gun.
Dari kacamata manfaat, belakangan hipnosis menjadi tren pendekatan atau metode terapi dalam mengatasi permasalahan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun jiwa. Muncullah istilah hipnoterapi, yakni terapi dengan menggunakan metode hipnosis. Secara kultural, masyarakat Indonesia bahkan telah mempraktikkan metode terapi dengan hipnosis itu secara turun temurun untuk menolong ibu-ibu yang melahirkan atau anak-anak yang sunatan. Dengan hipnosis, sakit akibat persalinan atau sunatan bisa berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Hanya, selama ini, hipnosis semacam itu selalu dikait-kaitkan dengan hal-hal berbau klenik atau takhayul.
Kini, di era modern yang serba dilandasi pendekatan ilmiah, hipnosis pun dilirik kalangan praktisi pendidikan dan psikologi. Hipnosis digunakan sebagai pendekatan dan metode dalam pengasuhan dan pembimbingan anak atau yang dikenal dengan hypnoparenting. Apa itu?
Magis Yang Logis
Praktisi hipnoterapi Ariesandi Setyono menjelaskan istilah hypoparenting berasal dari kata hypnosis dan parenting. Di dunia terdapat dua aliran besar hipnosis yaitu aliran Timur dan Barat. Pada aliran Timur memang banyak dijumpai hal-hal yang bersifat mistis atau ”magis”. Sebaliknya, hipnosis aliran Barat dipengaruhi teori-teori mengenai pikiran dan struktur bahasa. Menurut Ariesandi, hypnoparenting merujuk pada hipnosis aliran Barat yang berlandaskan pendekatan ilmiah berdasarkan penelitian para pakar yang berkecimpung di dunia kedokteran dan psikologi.
“Sebenarnya fenomena hipnosis kita alami setiap hari. Pernakah Anda melihat film yang mengharukan hingga menangis? Anda larut dalam film itu sehingga seakan-akan menjadi sesuatu yang nyata. Itulah hipnosis,“ jelas master hipnoterapis itu dalam situsnya.
Penulis buku Hypnoparenting itu memberikan contoh lain. Coba Anda bayangkan jeruk lemon sangat segar di tangan, kemudian dibelah menjadi dua bagian dan peras ke mulut. Bagaimana reaksi tubuh Anda? Biasa saja atau air liur menjadi lebih encer? “Jika anda perhatikan jeruknya kan tidak ada, hanya imajinasi saja bukan? Tetapi mengapa tubuh kita bereaksi dengan cara yang sama ketika jeruknya benar-benar ada?” ujarnya.
Itulah daya magis hipnosis yang prosesnya bisa dijelaskan secara ilmiah, bukan dengan pendekatan klenik. Dalam kasus jeruk lemon itu, otak kita menangkap gambaran mental dari jeruk lemon. Dan ketika kita melakukannya dengan penuh perasaan dan konsentrasi maka otak menganggap hal itu adalah suatu kenyataan dan memerintahkan tubuh untuk bereaksi dengan cara yang sama saat kita berhadapan dengan jeruk lemon yang sesungguhnya.
Satu syarat mutlak agar daya sugesti semacam itu bisa ngefek ialah pengalaman empiris. Artinya, Anda harus pernah punya pengalaman melihat dan merasakan jeruk lemon sehingga bisa membayangkan dengan detil. Pengalaman nyata itu penting sebagai proses pemasukan informasi ke dalam otak atau pikiran. Itulah proses hipnosis. Ada pula yang menyebutnya dengan permainan pikiran atau mind game.
Teladan Nyata
Bayangkan jika sugesti semacam diterapkan dalam membesarkan dan membimbing atau mendidik anak. Tentu, orang tua tidak perlu stres atau bahkan depresi lantaran harus sering bersitegang dengan anak yang dianggap nakal, susah diatur, atau bandel. Menerapkan pendekatan atau metode hipnosis dalam mendidik dan membesarkan anak itulah yang disebut hypnoparenting.
Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara tanpa kita sadari sebenarnya menerapkan metode hypnoparenting. Masih ingat prinsip yang ditularkan Ki Hajar Dewantara dalam mendidik para siswanya agar menjadi anak cerdas ydan berbudi luhur? Ki Hajar menunjukkan kunci sukses yang kemudian dianut dunia pendidikan nasional hingga kini. Kunci sukses yang harus dicamkan para orangtua dan pendidik itu ialah: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberikan teladan, di tengah membangkitkan semangat dan kreativitas, dan dari belakang membimbing).
Pepatah mengatakan, “pengalaman ialah guru terbaik, experience is the teacher“. Sayangnya, masih banyak orangtua yang keliru menerjemahkan pepatah itu dalam mendidik anak mereka. Pola asuh dan cara mendidik yang mereka terima dari orang tua pada masa kanak-kanak dulu diterapkan untuk mengasuh dan mendidik anak mereka sekarang. Padahal, tantang zaman dulu dengan sekarang sangatlah berbeda. Belum lagi jika pengalaman masa lalu orang tua itu kurang baik bagi perkembangan otak dan kejiwaan anak.
“Kita memperlakukan anak kita sebagaimana orangtua memperlakukan kita dulunya. Padahal, kita seharusnya memperlakukan anak sebagaimana kita dulu ingin diperlakukan oleh orangtua kita. Dengan begitu kita bertindak atas dasar perasaan seorang anak, bukan atas dasar perasaan kita sebagai orangtua,“ kata Ariesandi.
Dengan hypnoparenting, orangtua berusaha memetakan secara sistematis tugas-tugas mengasuh dan mendidik anak dengan pendekatan cara kerja pikiran dari kacamata anak. Pendekatan pada cara kerja pikiran akan membuat orangtua lebih mudah mengasuh dan mendidik anak mereka.
Bukankah pikiran itu komando yang menggerakan syaraf-syarat tubuh lain? Bukankah kemampuan berbicara bahasa ibu seorang anak tidak didapat dari tempat kursus? Tentu, kemampuan bayi berbicara dalam bahasa ibu itu didapatkan dari proses pikirannya merekam setiap kata yang berulangulang dia dengar dari orang-orang di sekitarnya. Tentu si anak yang secara fisik normal akan bisu atau gagu jika sejak bayi dibesarkan di lingkungan orang-orang bisu yang hanya menggunakan bahasa isyarat. Bayi pun diyakini bisa berjalan karena lebih disebabkan oleh proses meniru orang-orang di sekitarnya ketimbang proses pertumbuhan fisik seiring dengan berjalannya waktu. Diyakini, seorang bayi yang pertumbuhan fisiknya normal tidak akan bisa berjalan tegak jika selama balita dia selalu menyaksikan orang-orang di sekitarnya merangkak.