FIRMAN, 7 tahun, tergolek di Rumah Sakit M Djamil Padang, Sumatra Barat. Dunia yang benderang dan ceria seketika menjadi gelap dan muram. “Bocah ini terancam tak bisa melihat seumur hidup,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno tentang mata kanan
Firman yang luka terkena peluru senjata mainan sebesar kacang kedelai beberapa waktu lalu.Firman hanyalah salah satu korban mainan anak-anak. KPAI mencatat ada 20 korban anak terluka akibat penyalahgunaan pistol mainan berpeluru plastik. Peredaran replika pistol anak-anak saat ini memang memprihatinkan.
Di banyak negara maju, pemerintah menerapkan kebijakan yang amat keras menyangkut standarisasi keselamatan mainan anak. Di plastik pembungkus mainan, misalnya, tertera peringatan: this bag is not a toy. Hal ini efektif untuk membuat orang tua waspada, segera melepas plastik pembungkus mainan begitu barang yang dibeli sampai ke tangan si anak.
Kelihatannya sepele, namun sebenarnya sangat penting. Bayangkan jika plastik ukuran besar itu dimasukkan si anak ke kepalanya saat dia bermain tanpa pengawasan orang tua. Tentu, nyawa si kecil bisa melayang karena kehabisan oksigen. Langkah pencegahan lain ialah memberi label kategori umur pada setiap mainan. Ini bisa mencegah orang tua membelikan mainan yang tidak sesuai dengan umur anak. Melatih EQ dan IQ.
Bagaimana cara memilih mainan yang tepat untuk anak? Menurut RA Oriza Sativa, psikolog klinis dari RS Awal Bros, Bekasi, Jawa Barat, mainan yang baik ialah yang memiliki fungsi positif dan memenuhi tiga syarat utama, yakni menghibur, mendidik, dan sesuai dengan tumbuh kembang anak.
Menghibur, artinya mampu menciptakan ekspresi emosi positif seperti tertawa dan gembira. Mendidik, maksudnya mainan itu harus mampu meningkatkan kecerdasan emosional (EQ) dan intelegensi (IQ). “Dari sisi EQ mainan harus mampu memicu anak berempati, bekerja sama, berimajinasi, melatih ketekunan, dan kesabaran. Adapun dari sisi IQ, mainan yang baik bisa meningkatkan kecermatan, ketelitian, berpikir analitis dan problem solving,” ujar Oriza.
Mainan juga harus sesuai tumbuh kembang anak, yakni ada keselarasan antara usia kronologis dengan target umur mereka. Misalnya, anak 0-3 tahun, titik beratkan pada permainan yang memicu multisensor, semacam meraba, mendengar, dan melihat. Hal ini penting untuk mengaktifkan alat pancaindra dan mengembangkan fungsi motorik kasar, seperti berjalan, melompat, berlari, dan melempar. Untuk anak 3 – 5 tahun, fokuskan pada permainan yang mengasah kepekaan emosi dan motorik halus. Sebab pada tahap ini, anak sedang mengembangkan tahap prososial, alias senang bergaul dengan teman sebaya. Ajak mereka berkemah, mewarnai, atau melakukan ativitas menempel, dan menggunting.
Adapun untuk anak 5 tahun hingga remaja, permaian yang pas ialah yang menitikberatkan pada aspek kecerdasan intelektual. Diharapkan, dengan model permainan macam ini, anak dapat berpikir kompleks hingga di masa depan mereka dapat memecahkan masalah-masalah sulit dalam kehidupan. Contoh mainan yang dimaksud adalah puzzle, monopoli, atau rubiK.
“Jadi intinya, mainan ideal adalah mainan yang tidak membahayakan keselamatan, misalnya mengandung konten racun, tajam, atau terlalu keras. Kemudian sesuai dengan kondisi keuangan orangtua, serta sesuai dengan konteks sosial budaya,” pungkas psikolog klinis itu.