COBALAH simak cerita berikut ini. Seorang bocah Indonesia baru pindah ke satu sekolah dasar di Amerika Serikat. Seorang guru di sekolah itu memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada para siswa, termasuk anak asal Indonesia itu. Guru itu menugaskan para siswa membuat karangan.
Tak dinyana, karangan berbahasa Inggris karya si anak yang masih minimal itu oleh sang guru diberi nilai E (excellence), sangat bagus atau sempurna. Padahal, karangan itu sebelumnya dimentahkan sang ayah di rumah. Tanpa memberikan penghargaan, si ayah malah meminta anaknya itu membuat karangan lagi.
Ayah si anak itu merasa guru salah memberikan nilai. Dia tidak ingin nilai tersebut dapat membuat anaknya puas diri padahal karangannya menurut sang ayah jelek. Lalu si ayah memprotes guru atas nilai E yang diberikan kepada pada anaknya itu.
Ibu guru yang menerima protes ayah tersebut bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab ayah si anak.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun menunjukkan empatinya.
“Beberapa kali saya bertemu ayah ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan merangsang orang agar maju. Encouragement!”
Dia melanjutkan argumentasinya. “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya sambil menunjukkan karangan itu.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya lagi.
Memberikan apresiasi kepada anak-anak memang diperlukan. Itu bisa dimulai dari dalam rumah oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Seorang anak harus merasa bahwa dia kebanggan sekaligus harapan orang tua, keluarga, guru, dan orang lain. Cara menanamkan perasaan seperti itu bisa dimulai dari hal kecil, seperti melibatkannya dalam pekerjaan rumah yang ringan, seperti menyapu, membuang sampah, dan membantu mengambilkan barang. Apapun hasil pekerjaannya, si anak harus dihargai dan diberi apresiasi.
Banyak orangtua yang seringkali lalai menyelami perasaan anak. Banyak orang tua cenderung menggunakan sudut pandang mereka ketimbang memahami perasaan dan jalan pikiran anak. Tanpa sadar, kebanyakan orangtua yang mengklaim punya niat dan tujuan baik, malah seringkali berbicara yang sifatnya melarang dengan katakata yang membuat perasaan mereka terluka. Misalnya, ‘Pergi sana. Kamu masih kecil, jangan banyak bicara’. Atau sang kakak yang melarang adiknya bermain dengan kata-kata, “Kalau sudah sama umurnya, kamu boleh bermain dengan saya. Kalau sudah besar baru boleh bermain dengan saya”.
Perlakuan yang tidak menunjukkan penghargaan terhadap anak dapat berakibat buruk bagi perkembangan mereka. Jangan heran bila kemudian si anak lebih menghargai lingkungan di luar rumah ketimbang orangtua, saudara atau kerabat mereka di rumah. Meski hanya senyuman, kata penyemangat atau hadiah sebatang coklat, hal itu cukup membuat anak-anak merasa berarti di hadapan orang tua, saudara, guru, dan rekanrekan mereka.
Bisakah kita mencetak generasi hebat jika dari awal kita menciptakan hambatan dan rasa takut? Apa jadinya jika generasi mendatang ditempa dengan sejuta ancaman, sabetan gesper, pukulan rotan, atau lemparan penghapus oleh guru? Sekolah yang membuat siswa tidak nyaman dengan berbagai ancaman hukuman dan sederet kata “awas” mungkin telah membuat mereka menjadi lebih disiplin. Namun, di sisi lain bisa juga mematikan sisi humanis mereka untuk menghargai orang lain.