DALAM sebuah pertandingan dan di sekolah, tidak ada satu pun tim atau orang yang ingin kalah dan menjadi nomor dua. Semuanya ingin menang. Situasi kalah dan menang itu tidak hanya terjadi di dalam pertandingan.
Dalam kehidupan nyata, kalah dan menang juga bisa terjadi. Menciptakan sebuah kompetisi yang sehat bagi anak memang harus diberikan di lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah.
Di sekolah, iklim belajar kompetitif akan efektif pada kelas-kelas yang homogen. Di kelas seperti itu, anak-anak yang berkompetisi harus memiliki kompetensi yang seimbang. Sebaliknya, iklim pembelajaran kompetitif di kelaskelas yang heterogen dengan kompetensi dan latar belakang kemampuan yang berbeda-beda, hanya akan menimbulkan persaingan tidak sehat.
Kompetisi yang tidak sehat bukan saja tidak efektif dalam meningkatkan prestasi anak, melainkan juga dapat membuat ”sakit” kepribadian anak yang sehat. Ada empat iklim belajar kompetitif yang sehat untuk meningkatkan prestasi belajar di sekolah. Yakni, kompetisi antaranak yang berkemampuan seimbang, kompetisi antarkelompok yang memiliki kekuatan seimbang, kompetisi dengan KKM (kriteria ketuntasan minimal), dan kompetisi anak dengan diri mereka sendiri.
Psikolog Kassandra A Putranto mengingatkan dalam setiap kompetisi ada yang menang dan kalah. Karena itu, belajar berkompetisi bukan hanya belajar menjadi juara melainkan juga latihan menerima kalah. "Anak butuh belajar menerima kekalahan. Yang terpenting bangkit dari kekalahan Itu. Kalau tidak pernah belajar menerima kekalahan, anak juga tidak pernah belajar bangkit dari kekalahan," kata Kassandra.
Di dalam kehidupan sehari-hari, terkadang orang harus mengalami jatuh bangun. Seperti kisah heroik para atlet yang bangkit dari kekalahan lalu berlatih keras untuk meraih kemenangan. Itulah yang antara lain yang pernah terjadi pada juara tenis di Commonwealth 2010 Ana Ivanovic.
Petenis asal Serbia itu pernah menjadi peringkat pertama putri dunia, lalu peringkatnya terus melorot dan sempat menghilang karena cedera. Namun dengan usahanya yang keras untuk sembuh dari cedera serta berlatih keras, gelar dunia pun kembali diraihnya. Termasuk di turnamen Commonwealth di Bali beberapa waktu lalu.
Pemerhati dan pendidik anak Seto Mulyadi mengatakan anak bisa diikutkan berkompetisi ketika masuk usia SD. Dia menilai banyak nilai positif dari mengikuti kompetisi Itu. Misalnya, untuk mengukur kemampuan yang dimiliki si anak, seperti kemampuan menyanyi dan bermusik. Dengan mengikuti kompetisi, kemampuannya bisa terukur sehingga bisa berkarya atau berlatih lebih rajin lagi.
"Anak yang duduk di bangku SD masuk tahap berkarya, mengembangkan serta mengukur potensi," kata Kak Seto. Kassandra menambahkan, pada usia di sebelum SD, kompetisi bisa diajarkan dalam bentuk lain. Misalnya, orangtua menyuruh anak balitanya mandi sendiri dalam atau merapikan mainan merreka sendiri beberapa menit. Kegiatan Itu pun merupakan cikal bakal berkompetisi. "Pada usia 0 - 6 tahun, anak belum paham tentang kompetisi. Tapi konsep kompetisi harus diperkenalkan sejak dini."